Minggu, 07 Agustus 2011

Melampaui Tenaga Dalam Untuk Hidup Berkesadaran "JAKARTA 1993"

Tulisan ini adalah buah Karya dari Pak Agung Webe dan Aku telah meminta kesediaannya untuk Ku share di Blog sederhana ini dan ini kata-kata dari Pak Agung Webe: Agung Webe Silahkan apabila tulisan dari buku pertama saya yg saya buat free ebook itu bermanfaat, silahkan di share. Bahkan kalau mau tidak dicantumkan sumbernya silahkan saja. Atau kalau mau ditulis itu adalah karya anda ya silahkan. Saya jamin saya tidak akan menuntut kok.
Bagi saya sepanjang itu bermanfaat dan berdaya guna silahkan dipakaisalam.


 "JAKARTA 1993"

Saya mulai meninggalkan Yogya untuk bekerja di Jakarta pada tahun 1993.
Saya jauh dari teman‐teman yang hampir setiap malam berdiskusi dan berlatih
tenaga dalam. Saya dan beberapa teman waktu itu juga sempat mendirikan
tenaga dalam Rasa Sejati yang sekarang sudah bubar. Beberapa dari diskusi kami
ada yang menghasilkan pemahaman baru, juga pertanyaan‐pertanyaan baru
seputar tenaga dalam. Yang jadi menggelitik kami waktu itu, karena kami belum
bekerja, seorang teman bertanya, "kalau sudah bisa mementalkan orang dan
matahin besi, bisa diterima kerja di bank tidak ya?" Kami semua tertawa dengan
sindirannya itu. Tapi betul juga. Kami mulai berpikir. Apa yang kami lakukan ini
sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan kami atau tidak.

Dengan kesibukan baru sebagai karyawan baru, tentunya banyak menyita
waktu saya untuk lebih serius dengan pekerjaan baru ini. Beberapa bulan hampir
tidak pernah untuk berpikir tentang tenaga dalam. Namun hal itu banyak
memberikan waktu bagi saya untuk merenungi setiap langkah yang sebelumnya
pernah saya lakukan. Benar juga apa yang dikatakan teman saya dulu, sekarang
dalam pekerjaan saya, saya tidak perlu mementalkan orang, matahin besi. Lalu
kalau demikian, untuk apa sebenarnya latihan tenaga dalam itu bagi orang kerja
seperti ini? Kesehatan? Itulah yang ditawarkan latihan‐latihan dewasa ini. Tapi
yang mengeluarkan keringat, pagi harinya ya pasti badan akan segar. Tidak
bisakah kita sehat dengan latihan‐latihan itu. Kalau olah nafasnya disertai gerakan 
gampang loyo. Sebenarnya masalah kesehatan tidak selesai sampai di situ saja.
Penyebab sakitnya belum ketemu. Kalau penyakit itu ditimbulkan oleh pikiran,
dan latihan‐latihan itu hanya menjadi pelarian supaya ada kegiatan sehingga tidak
memikirkan suatu masalah, masalah itu akan menumpuk dan menjadi sampah
dalam diri. Lama kelamaan akan menjadi seperti timbunan yang siap meledak.
Tinggal tunggu waktu. Kita hanya menunda masalah yang ada. Kita sedang
menyulut bom waktu.
Baru setahun saya kerja, pada suatu pagi badan saya rasanya tidak enak
sekali. Seperti gejala masuk angin. Kadang muntah dan keluar keringat dingin.
Saya pikir, karena kurang olah raga. Setahun ini memang saya jarang untuk
menggerakkan badan. Kemudian timbul dalam benak saya untuk kembali
melakukan gerakan jurus tenaga dalam. Siapa tahu badan akan kembali fit lagi.
Benar juga, dalam empat hari badan saya mulai segar, dan bisa masuk kerja lagi.
Seminggu kemudian, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya kembali
muntah‐muntah dan sampai tidak bisa berdiri. Muka pucat sekali. Badan lemas
tidak bisa apa‐apa, tetapi belum pingsan. Langsung saya menuju klinik untuk
diperiksa darah. Saat itu juga, dokter mengatakan bahwa saya harus dirawat inap!
Fungsi hati saya tidak normal. Kata orang kena penyakit kuning, atau
hepatitis A. Lalu menurut USG, hati saya mengalami pembengkakan. Saya harus
istirahat total di tempat tidur di rumah sakit sampai sembuh total. Di RS ST.
CAROLUS Jakarta, saya sempat dirawat seminggu lamanya. Karena tidak betah, saya minta untuk pulang ke Yogya dan dirawat di sana. Sebenarnya pihak rumah
sakit tidak mengijinkan, tapi saya memaksanya. Alhasil saya bisa pindah ke Yogya
meskipun harus naik kereta api, sendirian!
Kata dokter di Yogya, ini terjadi karena kerja yang terlalu diforsir. Tubuh
butuh istirahat yang cukup. Benar juga, waktu pertama ada tanda‐tanda itu, saya
malah melakukan latihan yang memaksa untuk mengeluarkan keringat. Latihan
berat sebetulnya. Dan itu ternyata malah memperburuk keadaan saya.
Sudah hampir sebulan saya di rumah sakit. Orang tua juga mulai khawatir,
mengingat sakit saya yang menurut dokter belum ada perbaikan. Lalu dengan
tanpa sepengetahuan dokter, mulailah mencari penyembuhan alternatif. Dari
mulai pijat syaraf, jamu, japa mantra, tenaga batin dan paranormal yang didatangi
ibu saya di pegunungan Wonosari, semuanya tidak membantu sedikitpun. Teman teman
dari praktisi tenaga dalam juga mencobanya, tapi tidak berhasil. Saya
kemudian mencoba melakukan sendiri untuk menyembuhkan penyakit saya.
Hasilnya buruk sekali. Malam itu saya malah masuk dalam masa kritis.
Suhu badan saya meningkat di atas 40 drajad. Saya mulai tidak sadarkan
diri. Tidak bisa apa‐apa. Sesaat yang bisa saya dengarkan hanya keluarga saya, Ibu
saya, Bapak, tiga adik saya dan pacar saya (sekarang isteri saya), semuanya
menangis. Saya mendengar itu. Tapi saya tidak tahu yang mereka tangisi itu apa.
Entah sudah berapa lama saya tidak sadarkan diri. Menurut mereka saya
pingsan karena suhu badan saya yang tinggi, yang sebelumnya saya juga sempat mengigau katanya. Kemudian saya mulai bisa membuka mata, dan mereka bilang
Alhamdulillah. Saya masih lemas. Saya lihat kakek saya sudah duduk di samping
saya, masih meletakkan kedua telapak tangannya di atas perut saya. Ya,
sebelumnya kakek tidak melakukan itu pada waktu awal‐awal saya masuk rumah
sakit. Mengapa? Kenapa kakek tidak melakukan penyembuhan kepada cucunya
ini. Saya kemudian bertanya padanya,
"Kenapa tidak dari dulu saya disembuhin kek?"
"Kakek tidak menyembuhkan kamu, kakek hanya membantu kamu melewati
masa kritis ini. Yang bisa menyembuhkan kamu hanya dirimu sendiri. Kamu belum
sembuh. Tergantung kamu sekarang. Tidak ada yang bisa membantumu.
Pasrahkan semua pada Yang di Atas."
Saya diam. Mencoba mengerti apa yang diucapkannya. Setelah itu, yang
sebelumnya saya sangat khawatir dengan hilangnya pekerjaan saya, saya mulai
bisa rileks. Kalau dengan lamanya saya sakit ini saya kemudian dikeluarkan dari
pekerjaan ya sudah. Status saya memang masih belum karyawan tetap, masih
dalam masa ikatan dinas. Dan sekarang saya sakit selama hampir empat bulan.
Saya kemudian bisa menikmati sakit saya. Benar‐benar menikmatinya. Sering
ketemu dengan dokter malah menambah pengetahuan saya tentang penyakit dan
cara kerja tubuh ini. Dan semua itu semakin menambah rasa "nyaman" saya
dalam menjalani sakit ini.
Akhir bulan keempat, dokter menyatakan pembengkakan di liver saya
sudah mulai menurun.. Belum sembuh total, saya masih harus banyak istirahat.
(Sebagai catatan, saya dirawat inap di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogya selama satu bulan dan masa kritis saya terjadi setelah tiga hari pulang dari rumah
sakit).
Banyak waktu lagi di rumah menyebabkan saya kembali bisa ngobrol
dengan kakek. Banyak yang beliau sampaikan. Tetapi yang selalu ditekankan
adalah bahwa sesuatu yang menimpa kita adalah hasil perbuatan kita sendiri.
Berarti penyakit saya juga hasil perbuatan saya? Saya belum mengerti dengan hal
ini. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Beliau mengatakan saya akan mengerti kalau
saya diam. Tentu saja bukan diamnya fisik ini.
Saat itu saya baru mengerti bahwa latihan tenaga dalam tidak bisa
menyembuhkan penyakit infeksi. Terbukti dengan diri saya. Infeksi hati yang saya
derita menjadi semakin parah setelah saya melakukan latihan gerak beberapa
hari, yang harusnya saya istirahat total. Mulai saat itu juga saya bertanya dalam
diri saya, apa ada yang salah dalam latihan tenaga dalam. Yang salah yang mana,
metode atau cara saya menghayatinya?
Dalam satu obrolan dengan kakek, beliau mengatakan tidak ada yang salah.
Semua latihan itu adalah proses yang tidak pernah berhenti. Hanya saja saya
belum melebur di dalamnya. Belum mengerti makna yang harus saya pelajari dari
setiap latihan itu. Kelak dalam beberapa tahun kemudian saya baru bertemu
dengan seorang Guru. Beliau yang memberikan pemahaman dan cara pendang
baru untuk kehidupan ini, sehingga saya bisa melampaui latihan tenaga dalam,
memberi makna secara Transcendental. Lewat beliau juga akhirnya saya menemukan pemahaman antara tenaga dalam dan Yoga, latihan pola nafasnya
yang merupakan pembersihan dan asimilasi dari Kriya.
Kembali kepada keadaan saya di Yogya,
Sudah genap enam bulan saya sakit. Lama memang. Dan keadaan saya
sudah mulai membaik. Dokter mengatakan saya sudah diijinkan untuk kembali ke
Jakarta. Namun jangan kerja terlalu berat dulu. Mungkin butuh dua bulan lagi
katanya. Atas keputusan dokter itu kemudian saya kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, dokter perusahaan memberi saya waktu untuk istirahat dua
bulan lagi. Tetapi saya disuruh untuk mencoba bekerja dengan tidak mengikat.
Kalau letih ya istirahat atau pulang. Demikian saya mencoba untuk mengikuti kata
dokter sampai dua bulan. Total saya sakit dan tidak masuk kerja adalah delapan
bulan. Waktu yang lama untuk seorang pegawai yang baru dalam ikatan dinas.
Tetapi Puji Tuhan, saya kemudian tidak menghadapi persoalan dengan bagian
personalia dalam meneruskan jenjang karier saya.
Tubuh saya sakit. Demikan pikir saya setelah beberapa bulan berselang.
Mengapa ini terjadi? Bukankah latihan tenaga dalam yang saya lakukan, ataupun
kemampuan saya untuk menyembuhkan seharusnya bisa menanggulanginya? Apa
yang salah? Kemudian teringat kata Kakek, ya mungkin semua ini ada hikmahnya.
Tetapi apa? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam diri yang tidak terjawab. Tidak
mungkin latihan saya selama ini tidak berguna. Tetapi untuk kasus seperti ini
mengapa tidak bisa? Kemudian perlahan‐lahan saya merasa tidak butuh lagi
latihan‐latihan itu. Saya bingung juga, tidak butuh atau tidak ingin melakukan
latihan. Yang jelas dengan pengalaman‐pengalaman yang lalu, saya jenuh. Benar, saya jenuh. Saat itu saya mencapai titik jenuh. Akhirnya saya hidup apa adanya.
Maksud saya, pandangan saya terhadap sesuatu tidak dilatar-belakangi pendangan
tenaga dalam. Kalau dulu, setiap berada di suatu tempat saya pasti akan
merasakan apakah tempat ini 'berenergi' baik atau jelek. Kemudian kalau ketemu
orang akan mencoba merasakan tenaga orang tersebut. Lalu akan mencoba
apakah suatu tempat ada makhluk halusnya apa tidak.
Sekarang dengan kejenuhan saya, saya hidup apa adanya. Saya benarbenar
melupakan hal‐hal itu semua. Dan, saya ternyata merasakan rileks. Plong!
Tidak ada yang mengejar terhadap pikiran‐pikiran saya. Saya rileks dengan
keadaan tanpa mengetahui ini.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar