Bagi saya sepanjang itu bermanfaat dan berdaya guna silahkan dipakai
salam.
PENDEKAR
Setelah menjadi Pendekar, apa hebatnya? Toh, tetap juga butuh tidur dan
makan nasi. Tetap juga naik sepeda kalau mau ke sekolah. Tetap juga harus ujian
untuk lulus. Pendekar hanyalah suatu jenjang. Jenjang yang dalam perguruan
tenaga dalam seseorang berhak belajar untuk mendalaminya lebih dalam lagi.
Tentunya sesuai kapasitas gurunya. Celakanya kalau gurunya hanya tahu dari sisi
jurus dan gerak, tanpa tahu makna dan simbolnya, filosofinya, dan apa tujuannya,
sudah barang tentu muridnya juga hanya jadi burung Beo. Murid hanya akan
dipuaskan oleh sensasi yang dirasakan di tubuhnya, oleh pengalamanpengalaman
pikirannya, oleh demo‐demo yang bisa dilakukannya. Menyedihkan.
Jenjang pendekar dari satu perguruan dengan lain perguruan berbeda.
Kalau seorang guru memang mempersiapkan seorang murid yang diharapkan siap
untuk menerima inti ajarannya, sudah barang tentu latihan‐latihan sebelumnya
adalah latihan persiapan untuk jenjang yang berikutnya. Bukan sekedar latihan
jurus saja.
Menurut asal katanya, pendekar terdiri dari dua asal kata. Pende atau
pandai, dan Kar dari karya atau berkarya. Jadi Pendekar adalah seorang yang
jenjang tenaga dalam, pendekar adalah identik dengan kesaktian dan kelebihanpandai berkarya. Berkarya untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, dalam
yang tidak dipunyai oleh yuniornya. Saya juga demikian. Menjadi pendekar adalah
idola para yunior waktu itu. Bayangan saya adalah mereka yang bisa melakukan
sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Pokoknya, pendekar adalah
sakti mandraguna, ora tedas tapak paluning pande sisaning gurindo, tidak
mempan senjata tajam dan senapan.
Walaupun sebenarnya, sebelum menjadi pendekar sudah menyatakan di
bawah sumpah:
1. Takwa kepada Tuhan YME
2. Berbakti kepada masyarakat
3. Tidak mencari permusuhan, tapi mencari kawan
4. Mengembangkan sikap cinta kasih
Sumpah yang indah, sumpah yang bisa menggalang persatuan dan kesatuan.
Namun kelihatannya sumpah itu hanya menjadi sekedar slogan saja. Seperti para
wakil rakyat yang bersumpah sebelum menduduki jabatannya. Sumpah hanya
menjadi service bibir saja. Setelah itu tetap saja korupsi, tetap saja menipu dan
mengelabui rakyat.
Apa yang salah? Bayangkan saja. Sampai saat ini, yang terdaftar di Ikatan
Pencak Silat Indonesia sudah lebih dari seratus perguruan. Belum lagi yang tidak
terdaftar, yang hanya berupa yayasan. Kalau saja, mereka sudah menelorkan
lebih dari seribu pendekar. Dan pendekar‐pendekar itu benar‐benar menghayati
sumpahnya, kemudian menerjemahkan dalam kehidupan sehari‐hari lewat
lapangan kerjanya, betapa nyamannya lingkungan kita ini. Namun apa yang terjadi. Tidak kita pungkiri, banyak para pendekar yang menjadi satuan
pengaman, menggunakan kependekarannya untuk menekan orang lain, demi
uang.
Saya punya seorang teman yang masih berlatih tenaga dalam. Dia selalu
bilang kepada saya, kalau dia berlatih dari dulu, mungkin sekarang sudah jadi
pendekar, dan dia sudah bisa menguasai berbagai ilmu yang dalam benaknya
amat sakti. Saya sedih dengan pandangan seperti itu. Masih banyak orang yang
beranggapan demikian. Menjadi pendekar adalah sakti. Apalagi didukung oleh
beberapa sinetron kita yang memvisualisasikan kesaktian dan kanuragan. Komplit
sudah angan‐angan dari masyarakat kita.
Juga ada seorang teman, yang berambisi sekali belajar tenaga dalam.
Katanya, karena lingkungannya banyak preman jadi dia harus bisa mengimbangi
orang ‐orang sekitarnya dengan belajar kanuragan. Teman saya tidak sadar
dengan hal itu. Dia melakukan suatu kejar‐kejaran yang tidak putus‐putus. Yang
satu kuat, yang lain kalah. Yang kalah akan belajar lagi, kemudian bisa
mengalahkan yang tadinya kuat. Lalu yang kalah akan belajar lagi. Begitu
seterusnya yang akan menjadi lingkaran yang tidak akan pernah putus. Mengapa
hal itu harus terjadi. Di mana sumpah untuk mengembangkan cinta kasih?
Namun demikianlah anggapan kebanyakan orang. Tenaga Dalam adalah
olah kanuragan untuk memperoleh kesaktian. Untuk membuat mempunyai
kekuatan lebih. Apa benar demikian? Saya yakin, seseorang yang sudah mencapai
kependekaran, tentunya dengan asumsi pendekar yang benar‐benar menghayatinya, tahu akan arti tenaga dalam. Sayangnya, beberapa orang akan
membungkus arti itu untuk mencari anggota. Lalu tenaga dalam memang
dimunculkan sebagai olah kesaktian semata‐mata untuk profit, untuk uang.
Untuk mengembangkan jaringan yayasannya yang tentunya membawa
keuntungan bagi beberapa orang tersebut.
Dalam latihan kependekaran, sebenarnya banyak yang harus dijabarkan
untuk pengertian pemula, supaya mereka juga tahu arti sesungguhnya dari
predikat pendekar. Kita tahu bahwa tenaga dalam bisa mementalkan orang yang
menyerang dirinya. Dengan syarat bahwa si penyerang terpancing emosinya.
Dalam keadaan seperti itu, orang yang menyerang tidak akan bisa menyentuh
bahkan terpental beberapa meter. Dalam tataran Pendekar, kalau seorang
pendekar diserang dan si penyerang terpental, atau diserang dengan senjata
tajam dan tidak luka, semua hal itu akan dikatakan bahwa dia gagal melakoni
ilmunya. Lho anehkan? Diserang mental, di bacok tidak apa‐apa, kok malah di
katagorikan gagal. Ya, hal itu termasuk bahwa seorang pendekar belum bisa
melakukan ilmu secara benar.
Ada suatu pengertian yang kelihatannya bertolak belakang dengan
seseorang yang baru belajar tenaga dalam. Apabila masuk pertama kali, ia akan
menilai bahwa dirinya berhasil apabila sudah bisa mementalkan orang. Seorang
pendekar harusnya tidak akan mementalkan orang. Yang harus dihayati oleh
seorang pendekar adalah, ilmu dia harusnya sudah bisa mengubah niat
seseorang. Apabila orang akan menyerang, belum sampai menyerang orang akan
mengurungkan niatnya, lebih bagus lagi kalau kemudian menjadi kawan. Apabila ada permusuhan, kemudian dia datang, permusuhan itu akan menjadi
silaturrahmi yang menyenangkan. Indah bukan? seharusnya hal inipun sudah
dimasyarakatkan sejak di tingkat dasar. Tapi kenyataannya tidak. Masalahnya
kembali kepada uang dan besarnya perguruan. Kalau dari awal tidak ada
mementalkan orang, tidak ada adu tenaga, ya tidak ada muridnya, tidak
berkembang perguruannya, tidak profit. Namun kalau latihan mementalkan orang
selalu dijadikan maskot penarik, kita bisa lihat hasilnya. Orang akan mengklaim
dirinya serba bisa, bisa menyembuhkan, bisa ini bisa itu. Walaupun kadang dia
bersembunyi di balik nama Tuhan, mengatas namakan Tuhan, tapi ego itu tetap
tidak bisa disembunyikan. Kenyataannya ya masih cari uang juga. Walaupun kata
bayar diganti dengan Mahar!
Untuk menghayati ilmu pendekar yang tepat tidaklah mudah. Ya, tentunya
hal itu tercipta kalau seseorang mempunyai rasa Kasih yang besar. Bukan ego
yang besar. Dan para pendekar kita masih memupuk ego ini dalam setiap
latihannya.
Memupuk ego dalam setiap latihan dan tidak disadari oleh mereka. Dalam
latihan, selalu ada yang namanya adu tenaga. Lalu ada yang kalah dan ada yang
menang. Yang menang akan bangga, dan cenderung akan mencoba ilmunya
kepada orang lain. Yang kalah akan meningkatkan latihan lagi dan di kemudian
hari akan mencoba menantang lagi.
Dalam suatu latihan, kami sedang mempraktekkan ilmu yang namanya
Pantek. Kalau ilmu ini dilakukan, orang akan bertingkah seperti apa yang diharapkan. Teman saya mencobanya. Tiba‐tiba dia mengeram seperti harimau.
Teman saya berubah tingkahnya seperti harimau. Dia mencakar, meloncat dan
menyerang. Tenaganya menjadi kuat. Empat orang tidak bisa memeganginya. Lalu
satu persatu kami menyerangnya secara gantian. Bangga sekali waktu itu. Dan
sekarangpun masih ada beberapa perguruan yang masih menawarkan ilmu
semacam itu. Kadang mereka membungkusnya dengan nama ilmu Khodam, ilmu
Harimau Putih, dan sebagainya.
Aneh. Sudah menjadi manusia, malah ingin menjadi binatang. Hal itu tidak
disadari oleh para pendekarnya. Banyak yang kemudian bangga bisa menjadi
harimau, monyet, ular. Mereka tidak sadar sudah menurunkan derajadnya
sendiri. Sadar tidak sih kalau kita ini manusia yang punya potensi untuk
berkembang dan berevolusi secara spiritual? Kok malah turun menjadi binatang.
Seorang Pendekar tidak akan mengklaim dirinya pendekar, seperti iklan di
majalah‐majalah kita. Meng‐iklankan bisa ini dan bisa itu. Tidak! Pendekar adalah
manusia sejati. Yang tadinya orang biasa sekarang menjadi manusia. Dia akan
berkarya. Pandai berkarya. Berkarya tanpa pamrih. (Nanti kita bahas dalam
Pendekar Sejati).
Munculnya ego dalam diri pendekar, setidaknya mereka yang mengaku
pendekar adalah karena latihan konsentrasi yang menguatkan pikiran dia. Karena
terlalu kuat energi pikirannya, dia akan mencari pembenaran dari setiap tindakan
yang dia lakukan. Tidak akan terbuka terhadap orang lain yang memang lebih dari
dia.
Ada satu latihan yang sebenarnya kalau dimaknai secara tepat hasilnya
sangat bagus sekali. Yaitu satu jurus yang bernama Mahdi. Dimana dalam setiap
langkahnya, kita akan mengucapkan afirmasi TIDAK ADA DAYA UPAYA DAN
KEKUATAN KECUALI DARI TUHAN. Indah sekali bukan? Namun kenyataannya
afirmasi itu tidak terlalu dihayati sehingga yang tercipta adalah proyeksi dari jurus
itu, yaitu dapat untuk berhubungan dengan apa yang dianggap roh‐roh orang
yang sudah meninggal.
Sebenarnya banyak sekali distorsi yang terjadi dalam latihan‐latihan ini,
disaat hal pemanis dan gula‐gula sudah jadi hidangan utama. Distorsi itu akan kita
selami dalam bab berikutnya, dan kita berusaha mengembalikan kepada makna
yang terkandung, makna awal dari latihan Tenaga Dalam.
Waktu itu sedang terjadi perkelahian antar sekolah. Seorang teman yang
sudah masuk dalam latihan kependekaran terlibat di dalamnya. Namun apa yang
terjadi. Dia datang ke rumah saya dalam keadaan babak belur. Mukanya biru kena
tonjok. Dia bingung, kok bisa ya kena serangan seperti ini? Sesungguhnya hal itu
bukan sekali terjadi. Pernah juga seorang teman matanya biru kena tinju garagara
salah paham. Banyak lagi yang lainnya. Tapi hal itu tidak pernah diekspose.
Tidak pernah diceritakan keluar. Banyak sekali orang yang sudah latihan tenaga
dalam dan masih kena pukul, ha ha ha... Hal itu terjadi karena pemaknaan yang
kurang. tenaga dalam hanya dipahami sebagai latihan untuk mementalkan orang.
Ada juga yang tiap hari selalu memberi energi di sekeliling kandang
Hasilnya? Dia sendiri bingung, kok masih ada saja pencuri yang bisa mengambiayamnya, supaya tidak dicuri. Atau kalau dicuri malingnya akan terpental.
ayamnya. Di mana salahnya, begitu pikirnya. Dan kejadian serupa begitu banyak
yang dialami oleh teman yang lain. Sehingga tidak sedikit pula yang kecewa
dengan latihan yang dia geluti selama ini. Kok tidak seperti yang dia bayangkan
sebelumnya? Kalau hal‐hal seperti ini sudah dijelaskan sebelumnya, tenaga dalam
itu apa, maknanya apa, tujuannya apa, hasil yang akan dicapai apa, seseorang
yang akan belajar tentunya akan tahu dengan tepat apa yang sedang dia pelajari.
Tidak menjanjikan seseuatu yang hanya bisa dilakukan dalam demonstrasi saja.
Ya, kebanyakan hal‐hal seperti mementalkan orang, bikin energi dan sebagainya
itu hanya berhasil dalam demonstrasi. Atau kalau sedang adu tenaga dengan
sesama orang yang latihan.
Bayangkan kalau tidak ada iming‐iming semacam itu. Kalau kita berlatih dan
kemudian diberitahu kalau tidak akan sakti, akan biasa‐biasa saja. Kalau sakit ya
ke dokter dulu. Tidak semua penyakit bisa diobati dengan tenaga dalam. Kalau
sakitnya pegel linu, kurang semangat, dan sejenis darah tidak lancar, penyakit
yang timbul karena stress, itu akan tertolong dengan tenaga dalam. Akan
tertolong, bukan berarti selesai. Hanya menimbulkan interval sehat. Hal itu
karena pemaknaan yang kurang. Apabila hal itu dilakukan suatu perguruan,
mungkin hanya beberapa gelintir saja orang yang mau belajar. Bahkan mungkin
tidak ada. Tapi, kalaupun ada pemanis, ada gula‐gula, ya semestinya ditekankan
kalau itu hanya pemanis. Kalau tidak, hal semacam itu akan sangat memerosotkan
kesadaran seseorang. Sudah bukan saatnya lagi untuk bermain dengan pemanispemanis
itu. Masyarakat kita sudah cukup belajar dari hal‐hal semacam itu lama
sekali. Sudah saatnya untuk meningkat. Untuk berjalan lebih jauh ke depan. Untuk melampaui tenaga dalam. Melampaui adalah memberikan makna lebih
dalam. (Nanti akan kita selami dalam bab Melampaui Tenaga Dalam).
Ada iklan di majalah yang menyatakan bahwa si A adalah pendekar dari
daerah ini, ahli dalam hal pengobatan dan ilmu ini dan itu. Kalau memang
pendekar, tidak perlu mencari pengakuan. Tidak usah iklan supaya dikenal.
Tujuannya apa kalau bukan uang. Kalau mau cari uang kerja yang benar. Jangan
membodohi masyarakat dengan tipuan santet, dengan penyembuhan segala
macam penyakit, dengan bisa berhubungan dengan jin dan segala macam.
Sadar tidak sadar, latihan‐latihan yang memupuk ego ini akan semakin
menciptakan generasi pendekar yang tidak sadar. Akhirnya banyak pendekar yang
merasa bisa, bukan bisa merasa. Terlihat jelas beberapa perguruan, bahkan saya
katakan semua perguruan mengalami perpecahan. Alasannya karena beda
paham. Yah, keakuan yang besar menyebabkan dirinya merasa lebih mampu
untuk mendirikan perguruan baru dengan segala kelebihannya. Sampah dalam
diri mereka belum dikeluarkan, belum dihabiskan sehingga mereka melakukan
tindakan Katarsis dengan mendirikan perguruan baru. Ya, bawah sadar atau
mereka penuh sampah tak berguna yang berisi obsesi‐obsesi terpendam.
Perguruan baru itu sebenarnya lahan pembersihan bagi dia, namun orang yang
belajar akhirnya menjadi kebagian sampah‐sampah mereka. Mereka secara tak
sengaja menjadikan muridnya sebagai tong sampah dirinya. Begitu seterusnya
hingga generasi yang terus memecahkan diri.Pendekar harusnya berkarya tanpa pamrih. Tanpa pamrih ketenaran,
pamrih uang, pamrih besarnya suatu perguruan. Karyanya adalah kemakmuran.
Bukan kebesaran perguruan yang menjadikannya imporium baru.
Aneh, kalau banyak pendekar sakti di negeri ini, toh masih banyak kasus
pelanggaran hak asasi manusia terjadi tanpa ujung pangkal penyelesaian.
Mengapa tidak saja disantet para wakil rakyat yang korup, mengapa tidak
mengirim hujan teluh kepada para pejabat? Mengapa pembobol bank yang
bersembunyi tidak ketemu‐ketemu. Akhirnya banyak yang berdalih dengan alasan
macam‐macam. Bersembunyi di balik topeng kependekaran.
Ego yang besar dengan pikiran yang sangat kuat menyebabkan perguruanperguruan
menjadi pecah tanpa membawa makna awal yang sangat indah, makna
yang menghaluskan hati, mengembangkan rasa. Yang ada adalah takar‐menakar
kekuatan dan iklan kesaktian serta tawaran kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar